Gbis Nusukan Solo

Rabu, 01 Mei 2013

TENTANG GBIS (GEREJA BETHEL INJIL SEPENUH)

Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) adalah sebuah denominasi gereja di Indonesia. Dalam Bahasa Inggris disebut Bethel Full Gospel Church of Indonesia. Merupakan anggota persekutuan gereja-gereja di Indonesia. No. 34. GBIS juga menjadi salah satu gereja pendiri dan penopang Yayasan Pendidikan Kristen Petra dan Universitas Kristen Petra Surabaya.

SEJARAH
Kelahiran Gereja Bethel Injil Sepenuh diawali dengan keluarnya Pdt. F.G Van Gessel dengan beberapa pendeta lainnya dari GPDI dan membentuk Badan Persekutuan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Surabaya pada tanggal 21 Januari 1952. GBIS lahir dari satu kerinduan untuk mendapatkan kembali gereja. bukan hanya sekedar sebagai satu organisasi gereja, namun juga sebagai organisme, bersifat otonom dan memiliki jiwa fellowship. Sejak kelahirannya, GBIS telah berkembang demikian cepatnya, sehingga dalam waktu 15 tahun telah memiliki kira-kira 450 mata jemaat dengan 70000 anggota yang tersebar di seluruh persada Nusantara. Sehingga dapat dikatakan, saat itu GBIS telah menjadi organisasi Pentakosta tebesar ke-2 se Indonesia setelah GPdI.

PERPECAHAN GBIS DAN PEMBENTUKAN GBI
GBIS akan terus berkembang sangat pesat, apabila tidak terjadi malapetaka yang menyakitkan, yaitu perpisahan dengan GBI. Perpisahan ini tidak perlu terjadi, apabila BP-GBIS (saat itu) di bawah pimpinan Pdt. H.L Senduk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan "Church of God" (COG), salah satu gereja Pentakosta yang besar di Amerika. Hubungan kerja sama itu dituangkan dalam bentuk perjanjian peleburan (Amalgamation). Perjanjian dengan COG ini menjadi awal kemelut dalam tubuh GBIS yang berakhir dengan perpecahan GBIS dengan GBI pada tahun 1969 yang mencapai puncaknya saat dikeluarkan keputusan Menteri Agama R.I. No. 68 Tahun 1970, di mana antara antara lain diputuskan bahwa jemaat GBIS yang menolak perjanjian Amalgamation dengan Church Of God, diakui sebagai badan persekutuan yang telah disahkan oleh Kementerian Agama dengan keputusan no. A/VII/16, tanggal 31 Januari 1931.
Amalgamation dengan COG yang ditandatangani di Jakarta oleh Dr. H.L. Senduk, Dr. The Sean King, Pdt. Ong Ling Kok, Pdt. A.l. Palealu pada tanggal 5 Februari 1967, dan di Cleveland, Tennessee pada tanggal 9 Maret 1967, telah menimbulkan pro dan kontra dalam tubuh GBIS. Pihak yang pro-Amalgamation menganggap bahwa hubungan ini adalah semata-mata hubungan kemitraan belaka. GBIS tetap berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengn COG. Hubungan kemitraan itni sebagai hal yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan GBIS yaitu dengan menyediakan dana untuk membangun seminar Bethel di Jakarta (yang sebenarnya milik GBIS), satu lembaga Alkitab yang setara dengan Perguruan Tinggi.
Di lain pihak, mereka yang menolak atau menentang perjanjian Amalgamation dengan COG menuduh bahwa BP-GBIS (waktu itu) telah “menjual” GBIS kepada COG, dengan menjadikan GBIS sebagai “bagian” dari COG. Itu berarti bahwa GBIS telah dilebur” dalam COG. Tuduhan tersebut tidaklah berlebihan karena dalam naskah persetujuan yang ditandatangani oleh COG dan GBIS di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1967 dan di Cleveland, Tennessee, USA, tanggal 9 Maret 1967 memuat butir-butir persetujuan yang mengarah pada peleburan antara GBIS dan COG. Bukti persetujuan adalah adalah sebagai berikut:
Nama “Gereja Bethel Injil Sepenuh” (Bethel Full Gospel Church) dalam behasa Inggris, menjadi “Gereja Bethel Injil Sepenuh Dari Allah” (Bethel Full Gospel Church of God).
Tiap Pendeta atau Missionari Church of God yang sah yang akan melayani di Indonesia akan menjadi anggota Majelis Besar Gerja Bethel Injil Sepenuh dari Allah dengan hak suara penuh, demikian juga sebaliknya tiap Pendeta GBIS yang sah, menjadi anggota Majelis Besar dari Church of God dengan suara penuh.
Pro-kontra amalgamation semakin berkembang dengan munculnya isu-isu bahwa ada “aliran berkat” di balik perjanjian ini yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang dekat dengan "elite" BP. Konon terbetik kabar bahwa jemaat-jemaat anggota COG secara periodic mendapat bantuan dari COG berupa dana yang besarnya dihitung per kapita jumlah anggota jemaat sesuai dengan yang telah ditentukan oleh COG. Akibatnya kecurigaan semakin kuat bahwa tujuan amalgamation tersebut adalah untuk kelompok untuk mendapatkan keuntungan materi belaka, yang dianggap hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.
Apalagi Yayasan Bethel yang dibentuk dalam rangka amalgamation tersebut pengurus-pengurusnya adalah “orang0orang dekat” Ketua BP. Pertanyaan yang selalu muncul di antara petugas GBIS tersebut adalah ke mana larinya dana dari COG tersebut. Sebab itu dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab pertikaian yang bersumber dari Perjanjian Amalgamation dengan COG adalah “tidak adanya keterbukaan” dari BP-GBIS (saat itu) yang berkisar masalah keuangan.
  
PENYELESAIAN KERUSUHAN MELALUI MENTERI AGAMA
Dalam SMB X di Solo tanggal 21 Juni 1968 telah dicoba untuk menjernihkan persoalan. Namun rupanya upaya tersebutpun belum mampu menyelesaikan secara tuntas. Bahkan bayang-bayang perpecahan dalam tubuh GBIS telah mulai nampak.
Karena dipandang Badan Penghubung GBIS telah melakukan penyelewengan serta melanggar Tata Gereja, maka Badan Penasehat selaku badan yang mengawasi kerja Badan Penghubung, mengadakan pertemuan di Parapat (Danau Toba) dari tanggal 17 – 19 Juli 1969. Pertemuan Badan Penasehat ini dihadiri oleh Pdt. J.L. Pardede (alm), Pdt. B.H. Pardede (alm), Pdt. J.S.A.O. Papilaya (alm), Pdt. S. Chandrabuana Chr. (alm). Pdt. J. Setiawan (alm), Pdt. Bagenda (alm), Pdt A. Simangunsong (alm). Dalam pertemuan Badan Penasehat/MUBAPEN yang agak bersifat kontroversial di Parapat tersebut diputuskan untuk memecat Pdt. Dr. H.L. Senduk dan kawan-kawan, dan selanjutnya menetapkan Pdt. J. Setiawan selaku ketua BP-GBIS yang berkantor di Solo.
Segera muncul dualisme kepemimpinan dalam tubuh GBIS. Kelompok pertama adalah "kelompok Jakarta" yang tetap mengakui Pdt. Dr. H.L. Senduk selaku ketua BP-GBIS. Kelompok kedua adalah "kelompok Solo" yang mengakui Pdt. J. Setiawan selaku ketua BP-GBIS. Selama beberapa waktu, hampir setiap hari surat-surat dikirim ke seluruh petugas yang isinya pernyataan-pernyataan dari kedua BP-GBIS, baik yang bersifat penjelasan maupun yang bersifat “serangan” balik atas masing-masing pernyataan. Suasana keprihatinan menguasai para petugas GBIS melihat terjadinya kemelut dalam Badan Persekutuan yang sedang berkembang pesat ini. Di samping kelompok pro dan kontra, masih ada kelompok lain yang memutuskan pindah ke organisasi lain, misal GBIS Mojokerto, yang bergabung dengan GIA.
Oleh karena segala upaya untuk menyelesaikan tidak berhasil, maka dengan terpaksa GBIS mencari keadilan pada pemerintah. Akhirnya pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. campur tangan dalam penyelesaian konflik intern GBIS tersebut dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No. 68 tahun 1970 tanggal 16 Mei 1970. Dengan terbitnya keputusan ini berarti Pdt. Dr. H.L. Senduk harus meninggalkan GBIS (kelak Pdt. H.L. Senduk pada tahun 1970 mendirikan Gereja Bethel Indonesia/GBI), sementara Pdt. J. Setiawan diakui sebagai ketua BP-GBIS. Satu perpisahan sangat menyedihkan memang, tetapi itulah kenyataan sejarah GBIS. Namun yang sudah lalu biarlah berlalu. Setiap persoalan yang pasti ada pelajaran indah yang Tuhan berikan kepada kita, agar kita memulai babak baru dalam perjalanan GBIS di masa-masa mendatang, dan kita tidak jatuh untuk kedua kalinya dalam persoalan yang sama.

PASCA KERUSUHAN
Sidang Majelis Besar pertama pasca perpecahan adalah Sidang Majelis Besar (SMB) XII yang diadakan di Solo dari tanggal 6–8 Oktober 1970. SMB XII ini dihadiri oleh 168 pendeta dan pendeta pembantu. Ada rasa haru dan sedih di hati para peserta. Rasa haru, karena Tuhan telah menyelamatkan GBIS dari persoalan besar yang melilit, namun rasa sedih karena menghadapi kenyataan, harus berpisah dari rekan-rekan sejawat justru saat GBIS dalam perjuangannya membutuhkan kerja sama dengan semua rekan-rekan sepelayanan. Keputusan pertama yang diambil adalah “mengesahkan keputusan Sidang Mubapen tahun 1969 di Parapat sebagai keputusan Sidang Majelis Besar XII”. Dengan demikian Sidang Muapen Parapat, yang diakui oleh 8 (delapan) pendeta, mendapat “pengakuan yuridis” baik dari pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. maupun dari instansi tertinggi GBIS, yaitu Majelis Besar.
Sidang Majelis Besar XII juga menetapkan :
  • Pdt. J. Setiawan sebagai Ketua BP-GBIS.
  • Pdt. Gideon Soeprapto sebagai Sekretaris. (Gembala GBIS Nusukan Surakarta)
  • Pdt. Dr. Pontas Pardede sebagai ketua PPBSI.
  • Pdt. I. Kurniawati sebagai ketua PWBIS.
Pasca perpecahan, GBIS tetap berjuang sekalipun ditinggalkan oleh lebih dari setengah petugas-petugasnya. GBIS tidak pernah berhenti berjuang sesuai dengan tugas dan panggilan yang Tuhan sudah percayakan pada GBIS. GBIS tidak pernah berhenti untuk berjuang, dan itu semata-mata oleh berkat pertolongan Tuhan.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970–2000, Badan Persekutuan GBIS telah melaksanakan 11 (sebelas) kali Sidang Majelis Besar untuk berfellowship, mengevaluasi serta menetapkan langkah-langkah GBIS ke depan dalam tugas pelayanan di bumi pertiwi ini, di samping pula untuk mengangkat, memberhentikan petugas GBIS dan tugas-tugas organisatoris lainnya.

Inilah sejarah singkat dari GBIS yang saya ambil dari WIKIPEDIA . Puji Tuhan juga Gembala Kami, Bpk. Pendeta Gideon Suprapto bersama Bpk. Pdt. Markus Agus diberikan kesehatan hingga sampai saat ini dan dapat melayani dan memberkati jemaat di GBIS Nusukan.

Terimakasih dan Damai sejahtera
Team Redaksi GBIS Nusukan