Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) adalah sebuah denominasi gereja di Indonesia. Dalam Bahasa Inggris disebut Bethel Full Gospel Church of Indonesia. Merupakan anggota persekutuan gereja-gereja di Indonesia. No. 34. GBIS juga menjadi salah satu gereja pendiri dan penopang Yayasan Pendidikan Kristen Petra dan Universitas Kristen Petra Surabaya.
SEJARAH
Kelahiran Gereja Bethel Injil Sepenuh diawali dengan keluarnya Pdt. F.G
Van Gessel dengan beberapa pendeta lainnya dari GPDI dan membentuk Badan
Persekutuan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Surabaya pada tanggal 21 Januari 1952. GBIS lahir dari satu kerinduan untuk mendapatkan kembali gereja. bukan hanya sekedar sebagai satu organisasi gereja, namun juga sebagai organisme, bersifat otonom dan memiliki jiwa fellowship.
Sejak kelahirannya, GBIS telah berkembang demikian cepatnya, sehingga
dalam waktu 15 tahun telah memiliki kira-kira 450 mata jemaat dengan
70000 anggota yang tersebar di seluruh persada Nusantara. Sehingga dapat
dikatakan, saat itu GBIS telah menjadi organisasi Pentakosta tebesar
ke-2 se Indonesia setelah GPdI.
PERPECAHAN GBIS DAN PEMBENTUKAN GBI
GBIS akan terus berkembang sangat pesat, apabila tidak terjadi malapetaka yang menyakitkan, yaitu perpisahan dengan GBI.
Perpisahan ini tidak perlu terjadi, apabila BP-GBIS (saat itu) di bawah
pimpinan Pdt. H.L Senduk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan
dengan "Church of God" (COG), salah satu gereja Pentakosta yang besar di
Amerika. Hubungan kerja sama itu dituangkan dalam bentuk perjanjian
peleburan (Amalgamation). Perjanjian dengan COG ini menjadi awal
kemelut dalam tubuh GBIS yang berakhir dengan perpecahan GBIS dengan GBI
pada tahun 1969 yang mencapai puncaknya saat dikeluarkan keputusan
Menteri Agama R.I. No. 68 Tahun 1970, di mana antara antara lain
diputuskan bahwa jemaat GBIS yang menolak perjanjian Amalgamation
dengan Church Of God, diakui sebagai badan persekutuan yang telah
disahkan oleh Kementerian Agama dengan keputusan no. A/VII/16, tanggal
31 Januari 1931.
Amalgamation dengan COG yang ditandatangani di Jakarta oleh Dr. H.L.
Senduk, Dr. The Sean King, Pdt. Ong Ling Kok, Pdt. A.l. Palealu pada
tanggal 5 Februari 1967, dan di Cleveland, Tennessee
pada tanggal 9 Maret 1967, telah menimbulkan pro dan kontra dalam tubuh
GBIS. Pihak yang pro-Amalgamation menganggap bahwa hubungan ini adalah
semata-mata hubungan kemitraan belaka. GBIS tetap berdiri sama tinggi
dan duduk sama rendah dengn COG. Hubungan kemitraan itni sebagai hal
yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan GBIS yaitu
dengan menyediakan dana untuk membangun seminar Bethel di Jakarta (yang
sebenarnya milik GBIS), satu lembaga Alkitab yang setara dengan
Perguruan Tinggi.
Di lain pihak, mereka yang menolak atau menentang perjanjian
Amalgamation dengan COG menuduh bahwa BP-GBIS (waktu itu) telah
“menjual” GBIS kepada COG, dengan menjadikan GBIS sebagai “bagian” dari
COG. Itu berarti bahwa GBIS telah dilebur” dalam COG. Tuduhan tersebut
tidaklah berlebihan karena dalam naskah persetujuan yang ditandatangani
oleh COG dan GBIS di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1967 dan di
Cleveland, Tennessee, USA, tanggal 9 Maret 1967 memuat butir-butir
persetujuan yang mengarah pada peleburan antara GBIS dan COG. Bukti
persetujuan adalah adalah sebagai berikut:
Nama “Gereja Bethel Injil Sepenuh” (Bethel Full Gospel Church)
dalam behasa Inggris, menjadi “Gereja Bethel Injil Sepenuh Dari Allah”
(Bethel Full Gospel Church of God).
Tiap Pendeta atau Missionari Church of God yang sah yang akan
melayani di Indonesia akan menjadi anggota Majelis Besar Gerja Bethel
Injil Sepenuh dari Allah dengan hak suara penuh, demikian juga
sebaliknya tiap Pendeta GBIS yang sah, menjadi anggota Majelis Besar
dari Church of God dengan suara penuh.
Pro-kontra amalgamation semakin berkembang dengan munculnya isu-isu
bahwa ada “aliran berkat” di balik perjanjian ini yang hanya dinikmati
oleh orang-orang yang dekat dengan "elite" BP. Konon terbetik kabar
bahwa jemaat-jemaat anggota COG secara periodic mendapat bantuan dari
COG berupa dana yang besarnya dihitung per kapita jumlah anggota jemaat
sesuai dengan yang telah ditentukan oleh COG. Akibatnya kecurigaan
semakin kuat bahwa tujuan amalgamation tersebut adalah untuk kelompok
untuk mendapatkan keuntungan materi belaka, yang dianggap hanya
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.
Apalagi Yayasan Bethel yang dibentuk dalam rangka amalgamation
tersebut pengurus-pengurusnya adalah “orang0orang dekat” Ketua BP.
Pertanyaan yang selalu muncul di antara petugas GBIS tersebut adalah ke
mana larinya dana dari COG tersebut. Sebab itu dapat dikatakan bahwa
salah satu penyebab pertikaian yang bersumber dari Perjanjian
Amalgamation dengan COG adalah “tidak adanya keterbukaan” dari BP-GBIS
(saat itu) yang berkisar masalah keuangan.
PENYELESAIAN KERUSUHAN MELALUI MENTERI AGAMA
Dalam SMB X di Solo tanggal 21 Juni 1968 telah dicoba untuk
menjernihkan persoalan. Namun rupanya upaya tersebutpun belum mampu
menyelesaikan secara tuntas. Bahkan bayang-bayang perpecahan dalam tubuh
GBIS telah mulai nampak.
Karena dipandang Badan Penghubung GBIS telah melakukan penyelewengan
serta melanggar Tata Gereja, maka Badan Penasehat selaku badan yang
mengawasi kerja Badan Penghubung, mengadakan pertemuan di Parapat (Danau
Toba) dari tanggal 17 – 19 Juli 1969. Pertemuan Badan Penasehat ini
dihadiri oleh Pdt. J.L. Pardede (alm), Pdt. B.H. Pardede (alm), Pdt.
J.S.A.O. Papilaya (alm), Pdt. S. Chandrabuana Chr. (alm). Pdt. J.
Setiawan (alm), Pdt. Bagenda (alm), Pdt A. Simangunsong (alm). Dalam
pertemuan Badan Penasehat/MUBAPEN yang agak bersifat kontroversial di
Parapat tersebut diputuskan untuk memecat Pdt. Dr. H.L. Senduk dan
kawan-kawan, dan selanjutnya menetapkan Pdt. J. Setiawan selaku ketua
BP-GBIS yang berkantor di Solo.
Segera muncul dualisme kepemimpinan dalam tubuh GBIS. Kelompok
pertama adalah "kelompok Jakarta" yang tetap mengakui Pdt. Dr. H.L.
Senduk selaku ketua BP-GBIS. Kelompok kedua adalah "kelompok Solo" yang
mengakui Pdt. J. Setiawan selaku ketua BP-GBIS. Selama beberapa waktu,
hampir setiap hari surat-surat dikirim ke seluruh petugas yang isinya
pernyataan-pernyataan dari kedua BP-GBIS, baik yang bersifat penjelasan
maupun yang bersifat “serangan” balik atas masing-masing pernyataan.
Suasana keprihatinan menguasai para petugas GBIS melihat terjadinya
kemelut dalam Badan Persekutuan yang sedang berkembang pesat ini. Di
samping kelompok pro dan kontra, masih ada kelompok lain yang memutuskan
pindah ke organisasi lain, misal GBIS Mojokerto, yang bergabung dengan
GIA.
Oleh karena segala upaya untuk menyelesaikan tidak berhasil, maka
dengan terpaksa GBIS mencari keadilan pada pemerintah. Akhirnya
pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. campur tangan dalam penyelesaian
konflik intern GBIS tersebut dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama
No. 68 tahun 1970 tanggal 16 Mei 1970. Dengan terbitnya keputusan ini
berarti Pdt. Dr. H.L. Senduk harus meninggalkan GBIS (kelak Pdt. H.L.
Senduk pada tahun 1970 mendirikan Gereja Bethel Indonesia/GBI),
sementara Pdt. J. Setiawan diakui sebagai ketua BP-GBIS. Satu perpisahan
sangat menyedihkan memang, tetapi itulah kenyataan sejarah GBIS. Namun
yang sudah lalu biarlah berlalu. Setiap persoalan yang pasti ada
pelajaran indah yang Tuhan berikan kepada kita, agar kita memulai babak
baru dalam perjalanan GBIS di masa-masa mendatang, dan kita tidak jatuh
untuk kedua kalinya dalam persoalan yang sama.
PASCA KERUSUHAN
Sidang Majelis Besar pertama pasca perpecahan adalah Sidang Majelis
Besar (SMB) XII yang diadakan di Solo dari tanggal 6–8 Oktober 1970. SMB
XII ini dihadiri oleh 168 pendeta dan pendeta pembantu. Ada rasa haru
dan sedih di hati para peserta. Rasa haru, karena Tuhan telah
menyelamatkan GBIS dari persoalan besar yang melilit, namun rasa sedih
karena menghadapi kenyataan, harus berpisah dari rekan-rekan sejawat
justru saat GBIS dalam perjuangannya membutuhkan kerja sama dengan semua
rekan-rekan sepelayanan. Keputusan pertama yang diambil adalah
“mengesahkan keputusan Sidang Mubapen tahun 1969 di Parapat sebagai
keputusan Sidang Majelis Besar XII”. Dengan demikian Sidang Muapen
Parapat, yang diakui oleh 8 (delapan) pendeta, mendapat “pengakuan
yuridis” baik dari pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. maupun dari
instansi tertinggi GBIS, yaitu Majelis Besar.
Sidang Majelis Besar XII juga menetapkan :
- Pdt. J. Setiawan sebagai Ketua BP-GBIS.
- Pdt. Gideon Soeprapto sebagai Sekretaris. (Gembala GBIS Nusukan Surakarta)
- Pdt. Dr. Pontas Pardede sebagai ketua PPBSI.
- Pdt. I. Kurniawati sebagai ketua PWBIS.
Pasca perpecahan, GBIS tetap berjuang sekalipun ditinggalkan oleh
lebih dari setengah petugas-petugasnya. GBIS tidak pernah berhenti
berjuang sesuai dengan tugas dan panggilan yang Tuhan sudah percayakan
pada GBIS. GBIS tidak pernah berhenti untuk berjuang, dan itu
semata-mata oleh berkat pertolongan Tuhan.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970–2000, Badan Persekutuan GBIS
telah melaksanakan 11 (sebelas) kali Sidang Majelis Besar untuk
berfellowship, mengevaluasi serta menetapkan langkah-langkah GBIS ke
depan dalam tugas pelayanan di bumi pertiwi ini, di samping pula untuk
mengangkat, memberhentikan petugas GBIS dan tugas-tugas organisatoris
lainnya.
Inilah sejarah singkat dari GBIS yang saya ambil dari WIKIPEDIA . Puji Tuhan juga Gembala Kami, Bpk. Pendeta Gideon Suprapto bersama Bpk. Pdt. Markus Agus diberikan kesehatan hingga sampai saat ini dan dapat melayani dan memberkati jemaat di GBIS Nusukan.
Terimakasih dan Damai sejahtera
Team Redaksi GBIS Nusukan